Pesawat Kertas

Foto: Sistem Koloid SMA 70

Selasa lalu, saya tidak terlalu sehat. Jam 5 pagi saya bangun dan merasakan, duh, bokong susah digerakkan dari lantai. (Catatan: saya jarang tidur di kasur. Biasanya saya tidur di lantai supaya bisa terhindar dari kuatnya gravitasi seprai kasur di pagi hari.)

Mata panas; jidat tidak mau kalah panas. Badan meriang—bukan, bukan “menjadi riang—dan sekujur badan tiba-tiba kehabisan tenaga, rasanya secapek habis ke Bogor jalan kaki dari Bandung. Yang paling parah adalah kepala pusing, sepusing mikirin kuliah DRE saya yang ngulang di TPB lalu.

Hari itu, 4 Desember, harusnya ada field trip kuliah Bisnis Periklanan ke Jakarta, kunjungan ke sebuah perusahaan periklanan untuk tahu lebih dalam tentang proses pembuatan iklan. Namun, dengan kondisi seperti ini, saya tidak punya pilihan selain menempelkan badan ke kasur.

Selama kuliah di ITB, saya jarang sakit. Dalam 3.5 tahun ini, sepertinya pilek cuma 2 kali, itu pun karena lupa nutup jendela kamar di malam hari waktu ada hujan deras. Diare, cuma di awal masa adaptasi di Bandung. Alergi, tidak pernah. Demam pun, kalau paginya terasa, sorenya sudah sembuh. Defekasi dan urinasi normal. Sama sekali tidak pernah muntah. Tidak, saya tidak pakai selimut. Tubuh saya telah berevolusi untuk mengembangkan sistem imun terhadap dingin.

Imunitas tubuh saya banyak dipengaruhi oleh banyaknya penyakit saya di jaman SD. Pilek, batuk, mencret, pilek, batuk, demam. Mulai kelas 4 SD saya bawa tisu gulung di tas, soalnya sering banget ingusan :)) Puji Tuhan, dari tubuh yang sakit-sakitan di SD itulah saya mendapatkan imunitas sekeren yang sekarang.

Jadi, dengan asumsi “dibuat tidur 6 jam juga bakal sembuh”, saya memberikan kesempatan bagi tubuh saya untuk melakukan tidur—sebuah kemewahan bagi mahasiswa tingkat 4. Di saat tidur itulah, saya bermimpi. Katanya sih, kalau lagi demam, mimpi orang bisa makin liar.

Ini inti cerita sebenarnya.

Saya bermimpi saya berada di sebuah kompetisi pesawat kertas. Peraturannya: semua peserta diberi kertas dengan ukuran yang sama dan diminta untuk memodifikasi kertas itu menjadi “sesuatu yang bisa terbang”; kemudian, seluruh peserta akan menerbangkan pesawat bersama-sama dan yang akan menjadi pemenang adalah peserta yang pesawatnya paling jauh terbang.

Here, dude. I used to be a skillful papercraftsman. Back in elementary school, when there were no smartphones (which now tend to make their users look dumb) and children did actually play together, I choose to hone my skill on handicrafts and marbleplay. Two most popular games in my hometown back then was football and marbling. I stumbled upon the beauty of origami and was eager to try so many folding combinations. Yet, to be socially accepted, I had to excel in marbling, which succeeded and made me a badass marbleizer.

Di mimpi itu, pesawat yang saya buat bukanlah pesawat biasa yang punya sayap. Bukan juga origami bentuk naga yang bisa beneran terbang. Pesawat yang saya rancang di mimpi itu adalah sebuah gumpalan bola. Ya, saya meremas kertas yang diberikan panitia menjadi bola. Kemudian, saat seluruh pesawat dipertandingkan, pesawat sayalah yang bisa “terbang” paling jauh dan kencang. Saya pun menjadi pemenang di pertandingan. Ketika saya diwawancarai oleh pembawa acara TV yang meliput lomba itu, saya bilang, “Ini adalah model pesawat yang belum pernah dikembangkan sebelumnya.”

Lalu, weker bunyi. Sudah 6 jam saya tidur. Tepat seperti yang saya perkirakan, kepala saya sudah ringan lagi dan badan sudah sesegar es krim di pagi hari. Kerennya, saking berkesannya mimpi itu, bunyi alarm tidak membuat saya lupa mimpi saya.

Dari mimpi yang konyol itu, saya belajar bahwa hal-hal terbaik di dunia berawal dari mimpi. Ide-ide gila dunia tercetus saat manusia sedang melamun. Archimedes mendapatkan teori massa-jenis saat sedang mandi; Iotalaseria mendapatkan materi untuk Soul of Campus saat sedang ***; Wright bersaudara bermimpi untuk terbang, walaupun mereka tidak belajar secara akademis tentang sistem mesin.

Duh, soal pesawat, saya tidak berencana mengembangkannya, karena saya informatikawan dan bukan mekanik aeronautika. Akan tetapi, saya punya mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan di keinformatikaan Indonesia. Salah satunya bisa kalian lihat awal tahun 2013 nanti; sebuah aplikasi yang saya kembangkan khusus untuk majalah kemahasiswaan ITB :))

Jangan berhenti bermimpi, kawan.

P.S.: Walau begitu, berani bermimpi di masa UAS adalah hal yang berbahaya. Di saat-saat seperti ini, tidur itu dosa.

Satu komentar pada “Pesawat Kertas”

Tinggalkan Balasan ke Kusuma Batalkan balasan